Selamat Datang Di Insanak Kitte Blog. Terima Kasih Atas Kunjungannya

Minggu, 11 November 2012

SEJARAH KESULTANAN SAMBAS

Istana Alwazikhoebillah

Sejarah
Sumber yang digunakan oleh kaum sejarawan untuk melacak riwayat Kesultanan Sambas di Kalimantan Barat adalah dua kitab sastra bercorak sejarah, yaitu Asal Raja-Raja Sambas dan Salsilah Kerajaan Sambas. Naskah Asal Raja-Raja Sambas diperkirakan telah berusia ratusan tahun tetapi belum diketahui data yang lebih jelas mengenai asal-usul naskah yang ditulis dengan aksara Arab-Melayu ini, baik siapa penulisnya, judul aslinya, maupun waktu dan tempat penulisannya (Pabali H. Musa, 2003:50).
Kesultanan Sambas memiliki riwayat panjang dan berkaitan dengan sejarah sejumlah kerajaan lain, seperti Kesultanan Brunei Darussalam, Johor, Serawak, Sukadana dan Kerajaan Hindu Ratu Sepudak, bahkan juga dengan Kerajaan Majapahit di Jawa. Secara garis besar, riwayat Kesultanan Sambas terbagi atas dua periode, yakni pada masa Hindu dan Islam, selain juga pada masa kolonial dan pascakemerdekaan Indonesia.
 a. Kerajaan Sambas Tua pada Masa Hindu
Kesultanan Sambas sebenarnya merupakan kelanjutan dari Kerajaan Hindu Ratu Sepudak atau Kerajaan Sambas Tua. Kerajaan ini berada di bawah pengaruh Kesultanan Johor. Pada waktu itu, Kesultanan Johor sedang menapak zaman keemasannya di mana kerajaan ini memiliki daerah taklukan yang luas dan mulai menyaingi kebesaran Kerajaan Majapahit di Jawa (Musa, 2003:1).
Hegemoni Kesultanan Johor terhadap kerajaan-kerajaan lain, termasuk sebagai penyaing Mahapahit terlihat jelas karena sebelumnya Kerajaan Sambas Tua merupakan wilayah taklukan Majapahit pada era pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1351-1389 Masehi) dan Mahapatih Gajah Mada. Hal ini tercatat dalam kitab Negarakrtagama karya Mpu Prapanca yang ditulis pada tahun 1365 M (Yudithia Ratih, tt:62).
Ekspedisi Pamalayu Majapahit pada abad ke-14 M sangat berperan terhadap berdirinya Kerajaan Sambas Tua yang diawali oleh pemerintahan yang dipimpin Raden Janur dengan pusat pemerintahan di daerah bernama Paloh. Asal-muasal berdirinya pemerintahan di Paloh bermula dari kedatangan orang-orang dari Majapahit di bawah pimpinan Raden Janur pada sekitar tahun 1364 M. Setelah beberapa saat berinteraksi dengan warga lokal, mereka mendirikan pemerintahan baru dengan Raden Janur sebagai rajanya (Ratih, tt:62).
Pemerintahan di Paloh mengalami pergeseran kepemimpinan karena raja yang memimpin bukan lagi keturunan Majapahit. Hal itu terjadi karena Raden Janur tidak memiliki keturunan dan mengangkat anak bernama Tang Nunggal. Raja Tang Nunggal, yang dikenal sebagai sosok yang kejam, menimbulkan kegelisahan dari Majapahit selaku kerajaan yang membawahi Paloh. Oleh karena itu, sepeninggal Tang Nunggal, kendali pemerintahan di Paloh kembali diambil-alih Majapahit (Ratih, tt:62).
Pada pertengahan abad ke-15, pemerintahan di Paloh dipindahkan ke Kota Lama, Benua Bantanan-Tempapan, berjarak 36 kilometer ke arah barat Kota Sambas sekarang. Pada tahun 1550 M, pemerintahan di Kota Lama dipimpin oleh Ratu Sepudak dan kemudian dikenal dengan nama Kerajaan Hindu Ratu Sepudak atau Kerajaan Sambas Tua. Ratu Sepudak didampingi saudaranya bernama Timbung Paseban (Ratih, tt:62).
Seiring berkembangnya Islam di nusantara, pada tahun 1570 M, pengaruh Majapahit atas Kerajaan Sambas Tua mulai melemah. Di sisi lain, Kesultanan Johor di Semenanjung Malaka justru sedang menapak masa kejayaan, termasuk berambisi untuk menguasai kerajaan-kerajaan taklukan Majapahit di Sumatra dan Kalimantan, hingga pada akhirnya Johor berhasil menguasai Kerajaan Sambas Tua. 
b. Berdirinya Kesultanan Sambas Islam
Pengaruh Islam yang masuk ke Kerajaan Sambas Tua sebenarnya datang dari Kesultanan Brunei Darussalam yang dipimpin Sultan Abdul Majid Hasan 1402 – 1408 M). Sultan ini tidak memiliki anak sehingga ketika beliau wafat pada tahun 1408 M, tahta kesultanan dilimpahkan kepada adik iparnya, bernama Ong Sum Pin, seorang muallaf keturunan Cina. Ong Sum Pin adalah suami dari Putri Ratna Dewi, adik kandung almarhum Sultan Abdul Majid Hasan. Setelah dinobatkan menjadi sultan, Ong Sum Pin menyandang gelar Sultan Ahmad (1408 – 1425 M) (Urai Riza Fahmi [ed.], 2003:2).  
Pasangan Sultan Ahmad dan Putri Ratna Dewi dikaruniai seorang anak perempuan bernama Putri Ratna Kesuma yang kemudian dikawinkan dengan seorang bangsawan Arab yang baru datang dari Mekah bernama Syarif Ali bin Hasan bin Abi Anami bin Barkat Pancaran Amir Hasan. Konon, Syarif Ali masih keturunan langsung dari Nabi Muhammad. Pada tahun 1425 M, Syarif Ali ditabalkan sebagai Sultan Brunei Darussalam dengan gelar Sultan Barkat (1425 – 1432 M) menggantikan ayah mertuanya, yaitu Sultan Ahmad (Fahmi [ed.], 2003:2).
Selanjutnya, para pemimpin Kesultanan Brunei Darussalam pengganti Sultan Barkat secara berturut-turut antara lain: Sultan Sulaiman (1432 – 1485 M), Sultan Bolqiah (1485 – 1524 M), Sultan Abdul Kahar (1524 – 1530 M), Sultan Saiful Rijal (1530 – 1581 M), hingga Sultan Syah Brunei (1581 – 1582 M). Karena Sultan Syah Brunei tidak memiliki anak, maka kemudian yang dinobatkan sebagai sultan adalah adiknya bernama Pangeran Muhammad Hasan dengan gelar Sultan Muhammad Hasan (1582 – 1598 M). Sedangkan adik bungsu almarhum Sultan Syah Brunei, Pangeran Muhammad, diangkat sebagai bendahara kerajaan (Fahmi [ed.], 2003:2-3).
Sultan Muhammad Hasan mempunyai tiga orang putra, yaitu Pangeran Abdul Jalilul Akbar, Pangeran Muhammad Ali, dan Pangeran Raja Tengah. Menurut Urai Riza Fahmi (2003), Pangeran Raja Tengah inilah yang kelak menurunkan para penguasa Kesultanan Sambas Islam (Fahmi [ed.], 2003:3). Pada abad ke-16 itu, Pangeran Raja Tengah terkenal sebagai panglima perang yang telah menaklukan banyak negeri di bawah kuasa Kesultanan Brunei Darussalam. Atas jasa-jasanya itu, Pangeran Raja Tengah dipercaya untuk memimpin Serawak. Setelah dinobatkan sebagai Sultan Serawak pada tahun 1599 M, Pangeran Raja Tengah menyandang gelar Sultan Ibrahim Ali Omar Syah atau sering juga disebut sebagai Sultan Tengah (Mawardi Rivai, tt:2-4).
Pada waktu itu, Kesultanan Brunei Darussalam berhubungan erat dengan Kesultanan Johor, terutama melalui ikatan perkawinan, termasuk bibi Sultan Tengah sendiri yang menjadi permaisuri Sultan Abdul Jalil, Sultan Johor yang bertahta antara tahun 1570 – 1571 M. Pada suatu ketika, dalam perjalanan pulang dari Johor ke Serawak, kapal yang ditumpangi rombongan Sultan Tengah dihantam badai sehingga terdampar di wilayah Kerajaan Sukadana di Kalimantan Barat. Kerajaan Sukadana pada masa itu masih menganut agama Hindu dengan rajanya yang bernama Raja Giri Mustika. Kedatangan Sultan Tengah disambut dengan suka-cita oleh Kerajaan Sukadana yang memang berminat menjalin hubungan baik dengan Sultan Tengah yang terkenal pemberani itu.
Atas perantara seorang ahli agama Islam bernama Syeh Syamsudin yang baru saja kembali dari Mekah, Sultan Tengah mengislamkan Raja Giri Mustika beserta sebagian besar rakyat Sukadana. Bahkan, Raja Giri Mustika berkenan menikahkan Sultan Tengah dengan adiknya yang bernama Ratu Surya Kesuma. Pernikahan ini dianugerahi tiga orang putra dan dua orang putri, yaitu masing-masing bernama Raden Sulaiman, Raden Badarudin, Raden Abdul Wahab, Raden Rasymi Putri, dan Raden Ratnawati (Ratih, tt:63).
Dari bibinya yang menjadi permaisuri Sultan Johor, Sultan Tengah sering mendengar tentang Kerajaan Sambas Tua. Kerajaan Sambas Tua ketika itu memang masih berada di bawah kekuasaan Kesultanan Johor. Saat di Sukadana inilah Sultan Tengah semakin tertarik untuk mengunjungi Kerajaan Sambas Tua. Maka berangkatlah rombongan Sultan Tengah ke Kerajaan Sambas Tua yang terletak di Kota Lama, Benua Bantanan-Tempapan.
Di Kota Lama, rombongan Sultan Tengah disambut hangat oleh Ratu Sepudak. Pemimpin Kerajaan Sambas Tua ini mempunyai dua anak perempuan. Putri yang pertama bernama Raden Mas Ayu Anom dinikahkan dengan Pangeran Prabu Kencana yang tidak lain adalah keponakan Ratu Sepudak sendiri. Sedangkan putri Ratu Sepudak yang kedua bernama Raden Mas Ayu Bungsu. Sultan Tengah sendiri kemudian mendirikan permukiman di Kota Bangun, yang terletak tidak jauh dari Kota Lama, pusat pemerintahan Kerajaan Sambas Tua. Pembangunan permukiman ini atas persetujuan Ratu Sepundak.
Akan tetapi, belum seberapa lama Sultan Tengah bermukim di Sambas, Ratu Sepudak wafat. Sebagai penggantinya, maka diangkat Pangeran Prabu Kencana dengan gelar Ratu Anom Kesuma Yuda. Sementara itu, putri kedua almarhum Ratu Sepudak, Raden Mas Ayu Bungsu, dinikahkan dengan putra sulung Sultan Tengah, yakni Raden Sulaiman. Pernikahan Raden Sulaiman dengan Raden Mas Ayu Bungsu dikaruniai seorang putra dan dua orang putri yang masing-masing bernama Raden Bima, Raden Ratna Dewi, dan Raden Ratna  (Fahmi [ed.], 2003:5).
Tidak lama setelah kelahiran Raden Bima, yaitu pada tahun 1055 Hijriah, Sultan Tengah memutuskan kembali ke Kesultanan Serawak yang telah lama ia tinggalkan. Sementara itu, Raden Sulaiman tetap tinggal di Kerajaan Sambas Tua dan diangkat sebagai patih/menteri pertahanan dan keamanan yang dibantu oleh tiga orang pejabat, yakni Kiai Dipa Sari, Kiai Dipa Negara, dan Kiai Setia Bakti (Musa, 2003:1).
Pada perkembangan selanjutnya, terjadi perselisihan antara Raden Sulaiman dengan Pangeran Mangkurat, keponakan almarhum Ratu Sepudak. Pangeran Mangkurat merasa Ratu Anom Kesuma Yuda lebih dekat kepada Raden Sulaiman daripada dirinya yang notabene adalah orang asli kerajaan. Perseteruan itu semakin membesar ketika Kiai Setia Bakti, salah seorang abdi setia Raden Sulaiman, ditemukan tewas terbunuh yang ternyata pelakunya adalah orang-orang suruhan Pangeran Mangkurat.
Untuk menghindarkan konflik internal, Raden Sulaiman menyingkir ke Kota Bangun, tempat Sultan Tengah mendirikan perkampungan ketika pertama kali tiba di Kerajaan Sambas Tua. Kabar bahwa Raden Sulaiman keluar dari Kota Lama didengar oleh beberapa petinggi negeri yang masih menjadi bagian dari kekuasaan Kerajaan Sambas Tua, antara lain petinggi Nagur, Bantilan, dan Segerunding yang kemudian mengajak Raden Sulaiman pindah ke simpang Sungai Subah dan mendirikan negeri di Kota Bandir (Fahmi [ed.], 2003:6). Tiga tahun berselang, Raden Sulaiman pindah ke simpang Sungai Teberau di Lubuk Madung, dan kemudian pindah lagi ke muara tiga sungai (Sungai Subah, Sungai Teberau, dan Sungai Sambas Kecil), di Muara Ulakan (Fahmi [ed.], 2003:6).
Di Muara Ulakan, Raden Sulaiman dinobatkan sebagai Sultan Sambas dengan gelar Sultan Muhammad Syafiuddin I. Sementara dua adik laki-laki Raden Sulaiman, yaitu Raden Baharudin dan Raden Abdul Wahab, masing-masing diangkat sebagai Pangeran Bendahara Sri Maharaja dan Pangeran Tumenggung Jaya Kesuma (Fahmi [ed.], 2003:6). Dengan demikian, Kesultanan Sambas resmi berdiri di Muara Ulakan, berdampingan dengan Kerajaan Sambas Tua di Kota Lama. Di Muara Ulakan inilah Raden Sulaiman membangun Istana Alwazikhoebillah.

*Untuk lebih lengkapnya baca disini

BUBUR SAMBAS MENYEMARAKKAN KULINER NUSANTARA

Jalan- jalan ke Nusantara, kemudian singgah ke Kalimantan barat, rugi kalau tak menyantap kuliner ini. Nusantara yang sudah terkenal kaya akan berbagai jenis kuliner, juga mempunyai ratusan jenis bubur. Bubur yang Satu adalah unik dikenal dengan nama Bubur Pedas atau Bubur Sambas menambah semarak kuliner nusantara. Bubur ini diklaim sebagai makanan asli dari Kerajaan Melayu Sambas Kalimantan Barat. 

Membuat bubbor padas diperlukan kepiawaian khusus. Sebab cara memasaknya agak rumit, selain bumbu dan bahan- bahannya beragam, prosesnya juga memakan waktu 1 sampai 2 jam. Sebelum mencoba untuk memasaknya sebaiknya tanyakan dulu kepada warga Sambas yang ahli memasak Bubbor Paddas. 

Mengapa disebut Bubbor Paddas? Dalam bahasa daerah asalnya Melayu Sambas "Bubbor Paddas" berarti Bubur Pedas. Nama yang mungkin terdengar aneh. Bagaimana tidak, begitu kita memakannya bubur ini tidak terasa pedas sedikitpun jika tidak diberi sambal di dalamnya. Hanya rasanya gurih dan segar dengan bahan- bahan dan bumbu yang telah menyatu. Tak lengkap rasanya bila ke Kalimantan Barat tidak menyantap Bubur Pedas.