Istana Alwazikhoebillah |
Sejarah
Sumber yang digunakan oleh kaum sejarawan untuk melacak
riwayat Kesultanan Sambas di Kalimantan Barat adalah dua kitab sastra bercorak
sejarah, yaitu Asal Raja-Raja Sambas dan Salsilah Kerajaan Sambas. Naskah
Asal Raja-Raja Sambas diperkirakan telah berusia ratusan tahun tetapi
belum diketahui data yang lebih jelas mengenai asal-usul naskah yang ditulis
dengan aksara Arab-Melayu ini, baik siapa penulisnya, judul aslinya, maupun
waktu dan tempat penulisannya (Pabali H. Musa, 2003:50).
Kesultanan Sambas memiliki riwayat panjang dan berkaitan
dengan sejarah sejumlah kerajaan lain, seperti Kesultanan Brunei Darussalam,
Johor, Serawak, Sukadana dan Kerajaan Hindu Ratu Sepudak, bahkan juga dengan
Kerajaan Majapahit di Jawa. Secara garis besar, riwayat Kesultanan Sambas
terbagi atas dua periode, yakni pada masa Hindu dan Islam, selain juga pada
masa kolonial dan pascakemerdekaan Indonesia.
a. Kerajaan Sambas Tua pada Masa Hindu
Kesultanan Sambas sebenarnya merupakan kelanjutan dari
Kerajaan Hindu Ratu Sepudak atau Kerajaan Sambas Tua. Kerajaan ini berada di
bawah pengaruh Kesultanan Johor. Pada waktu itu, Kesultanan Johor sedang
menapak zaman keemasannya di mana kerajaan ini memiliki daerah taklukan yang
luas dan mulai menyaingi kebesaran Kerajaan Majapahit di Jawa (Musa, 2003:1).
Hegemoni Kesultanan Johor terhadap kerajaan-kerajaan
lain, termasuk sebagai penyaing Mahapahit terlihat jelas karena sebelumnya
Kerajaan Sambas Tua merupakan wilayah taklukan Majapahit pada era pemerintahan
Raja Hayam Wuruk (1351-1389 Masehi) dan Mahapatih Gajah Mada. Hal ini tercatat
dalam kitab Negarakrtagama karya Mpu Prapanca yang ditulis pada tahun
1365 M (Yudithia Ratih, tt:62).
Ekspedisi Pamalayu Majapahit pada abad ke-14 M sangat
berperan terhadap berdirinya Kerajaan Sambas Tua yang diawali oleh pemerintahan
yang dipimpin Raden Janur dengan pusat pemerintahan di daerah bernama Paloh.
Asal-muasal berdirinya pemerintahan di Paloh bermula dari kedatangan
orang-orang dari Majapahit di bawah pimpinan Raden Janur pada sekitar tahun
1364 M. Setelah beberapa saat berinteraksi dengan warga lokal, mereka
mendirikan pemerintahan baru dengan Raden Janur sebagai rajanya (Ratih, tt:62).
Pemerintahan di Paloh mengalami pergeseran kepemimpinan
karena raja yang memimpin bukan lagi keturunan Majapahit. Hal itu terjadi
karena Raden Janur tidak memiliki keturunan dan mengangkat anak bernama Tang
Nunggal. Raja Tang Nunggal, yang dikenal sebagai sosok yang kejam, menimbulkan
kegelisahan dari Majapahit selaku kerajaan yang membawahi Paloh. Oleh karena
itu, sepeninggal Tang Nunggal, kendali pemerintahan di Paloh kembali
diambil-alih Majapahit (Ratih, tt:62).
Pada pertengahan abad ke-15, pemerintahan di Paloh
dipindahkan ke Kota Lama, Benua Bantanan-Tempapan, berjarak 36 kilometer ke arah
barat Kota Sambas sekarang. Pada tahun 1550 M, pemerintahan di Kota Lama
dipimpin oleh Ratu Sepudak dan kemudian dikenal dengan nama Kerajaan Hindu Ratu
Sepudak atau Kerajaan Sambas Tua. Ratu Sepudak didampingi saudaranya bernama
Timbung Paseban (Ratih, tt:62).
Seiring
berkembangnya Islam di nusantara, pada tahun 1570 M, pengaruh Majapahit atas
Kerajaan Sambas Tua mulai melemah. Di sisi lain, Kesultanan Johor di
Semenanjung Malaka justru sedang menapak masa kejayaan, termasuk berambisi
untuk menguasai kerajaan-kerajaan taklukan Majapahit di Sumatra dan Kalimantan,
hingga pada akhirnya Johor berhasil menguasai Kerajaan Sambas Tua.
b. Berdirinya Kesultanan Sambas Islam
Pengaruh Islam yang masuk ke Kerajaan Sambas Tua
sebenarnya datang dari Kesultanan Brunei Darussalam yang dipimpin Sultan Abdul
Majid Hasan 1402 – 1408 M). Sultan ini tidak memiliki anak sehingga ketika
beliau wafat pada tahun 1408 M, tahta kesultanan dilimpahkan kepada adik
iparnya, bernama Ong Sum Pin, seorang muallaf keturunan Cina. Ong Sum Pin
adalah suami dari Putri Ratna Dewi, adik kandung almarhum Sultan Abdul Majid
Hasan. Setelah dinobatkan menjadi sultan, Ong Sum Pin menyandang gelar Sultan
Ahmad (1408 – 1425 M) (Urai Riza Fahmi [ed.], 2003:2).
Pasangan Sultan Ahmad dan Putri Ratna Dewi dikaruniai
seorang anak perempuan bernama Putri Ratna Kesuma yang kemudian dikawinkan
dengan seorang bangsawan Arab yang baru datang dari Mekah bernama Syarif Ali
bin Hasan bin Abi Anami bin Barkat Pancaran Amir Hasan. Konon, Syarif Ali masih
keturunan langsung dari Nabi Muhammad. Pada tahun 1425 M, Syarif Ali ditabalkan
sebagai Sultan Brunei Darussalam dengan gelar Sultan Barkat (1425 – 1432 M)
menggantikan ayah mertuanya, yaitu Sultan Ahmad (Fahmi [ed.], 2003:2).
Selanjutnya, para pemimpin Kesultanan Brunei Darussalam
pengganti Sultan Barkat secara berturut-turut antara lain: Sultan Sulaiman
(1432 – 1485 M), Sultan Bolqiah (1485 – 1524 M), Sultan Abdul Kahar (1524 –
1530 M), Sultan Saiful Rijal (1530 – 1581 M), hingga Sultan Syah Brunei (1581 –
1582 M). Karena Sultan Syah Brunei tidak memiliki anak, maka kemudian yang
dinobatkan sebagai sultan adalah adiknya bernama Pangeran Muhammad Hasan dengan
gelar Sultan Muhammad Hasan (1582 – 1598 M). Sedangkan adik bungsu almarhum
Sultan Syah Brunei, Pangeran Muhammad, diangkat sebagai bendahara kerajaan
(Fahmi [ed.], 2003:2-3).
Sultan Muhammad Hasan mempunyai tiga orang putra, yaitu
Pangeran Abdul Jalilul Akbar, Pangeran Muhammad Ali, dan Pangeran Raja Tengah.
Menurut Urai Riza Fahmi (2003), Pangeran Raja Tengah inilah yang kelak
menurunkan para penguasa Kesultanan Sambas Islam (Fahmi [ed.], 2003:3).
Pada abad ke-16 itu, Pangeran Raja Tengah terkenal sebagai panglima perang yang
telah menaklukan banyak negeri di bawah kuasa Kesultanan Brunei Darussalam.
Atas jasa-jasanya itu, Pangeran Raja Tengah dipercaya untuk memimpin Serawak.
Setelah dinobatkan sebagai Sultan Serawak pada tahun 1599 M, Pangeran Raja
Tengah menyandang gelar Sultan Ibrahim Ali Omar Syah atau sering juga disebut
sebagai Sultan Tengah (Mawardi Rivai, tt:2-4).
Pada waktu itu, Kesultanan Brunei Darussalam berhubungan
erat dengan Kesultanan Johor, terutama melalui ikatan perkawinan, termasuk bibi
Sultan Tengah sendiri yang menjadi permaisuri Sultan Abdul Jalil, Sultan Johor
yang bertahta antara tahun 1570 – 1571 M. Pada suatu ketika, dalam perjalanan
pulang dari Johor ke Serawak, kapal yang ditumpangi rombongan Sultan Tengah
dihantam badai sehingga terdampar di wilayah Kerajaan Sukadana di Kalimantan
Barat. Kerajaan Sukadana pada masa itu masih menganut agama Hindu dengan
rajanya yang bernama Raja Giri Mustika. Kedatangan Sultan Tengah disambut
dengan suka-cita oleh Kerajaan Sukadana yang memang berminat menjalin hubungan
baik dengan Sultan Tengah yang terkenal pemberani itu.
Atas perantara seorang ahli agama Islam bernama Syeh
Syamsudin yang baru saja kembali dari Mekah, Sultan Tengah mengislamkan Raja
Giri Mustika beserta sebagian besar rakyat Sukadana. Bahkan, Raja Giri Mustika
berkenan menikahkan Sultan Tengah dengan adiknya yang bernama Ratu Surya
Kesuma. Pernikahan ini dianugerahi tiga orang putra dan dua orang putri, yaitu
masing-masing bernama Raden Sulaiman, Raden Badarudin, Raden Abdul Wahab, Raden
Rasymi Putri, dan Raden Ratnawati (Ratih, tt:63).
Dari bibinya yang menjadi permaisuri Sultan Johor, Sultan
Tengah sering mendengar tentang Kerajaan Sambas Tua. Kerajaan Sambas Tua ketika
itu memang masih berada di bawah kekuasaan Kesultanan Johor. Saat di Sukadana
inilah Sultan Tengah semakin tertarik untuk mengunjungi Kerajaan Sambas Tua.
Maka berangkatlah rombongan Sultan Tengah ke Kerajaan Sambas Tua yang terletak
di Kota Lama, Benua Bantanan-Tempapan.
Di Kota Lama, rombongan Sultan Tengah disambut hangat
oleh Ratu Sepudak. Pemimpin Kerajaan Sambas Tua ini mempunyai dua anak
perempuan. Putri yang pertama bernama Raden Mas Ayu Anom dinikahkan dengan
Pangeran Prabu Kencana yang tidak lain adalah keponakan Ratu Sepudak sendiri.
Sedangkan putri Ratu Sepudak yang kedua bernama Raden Mas Ayu Bungsu. Sultan
Tengah sendiri kemudian mendirikan permukiman di Kota Bangun, yang terletak
tidak jauh dari Kota Lama, pusat pemerintahan Kerajaan Sambas Tua. Pembangunan
permukiman ini atas persetujuan Ratu Sepundak.
Akan tetapi, belum seberapa lama Sultan Tengah bermukim
di Sambas, Ratu Sepudak wafat. Sebagai penggantinya, maka diangkat Pangeran
Prabu Kencana dengan gelar Ratu Anom Kesuma Yuda. Sementara itu, putri kedua
almarhum Ratu Sepudak, Raden Mas Ayu Bungsu, dinikahkan dengan putra sulung
Sultan Tengah, yakni Raden Sulaiman. Pernikahan Raden Sulaiman dengan Raden Mas
Ayu Bungsu dikaruniai seorang putra dan dua orang putri yang masing-masing
bernama Raden Bima, Raden Ratna Dewi, dan Raden Ratna (Fahmi [ed.],
2003:5).
Tidak lama setelah kelahiran Raden Bima, yaitu pada tahun
1055 Hijriah, Sultan Tengah memutuskan kembali ke Kesultanan Serawak yang telah
lama ia tinggalkan. Sementara itu, Raden Sulaiman tetap tinggal di Kerajaan
Sambas Tua dan diangkat sebagai patih/menteri pertahanan dan keamanan yang
dibantu oleh tiga orang pejabat, yakni Kiai Dipa Sari, Kiai Dipa Negara, dan
Kiai Setia Bakti (Musa, 2003:1).
Pada perkembangan selanjutnya, terjadi perselisihan
antara Raden Sulaiman dengan Pangeran Mangkurat, keponakan almarhum Ratu
Sepudak. Pangeran Mangkurat merasa Ratu Anom Kesuma Yuda lebih dekat kepada
Raden Sulaiman daripada dirinya yang notabene adalah orang asli kerajaan.
Perseteruan itu semakin membesar ketika Kiai Setia Bakti, salah seorang abdi
setia Raden Sulaiman, ditemukan tewas terbunuh yang ternyata pelakunya adalah
orang-orang suruhan Pangeran Mangkurat.
Untuk menghindarkan konflik internal, Raden Sulaiman
menyingkir ke Kota Bangun, tempat Sultan Tengah mendirikan perkampungan ketika
pertama kali tiba di Kerajaan Sambas Tua. Kabar bahwa Raden Sulaiman keluar
dari Kota Lama didengar oleh beberapa petinggi negeri yang masih menjadi bagian
dari kekuasaan Kerajaan Sambas Tua, antara lain petinggi Nagur, Bantilan, dan
Segerunding yang kemudian mengajak Raden Sulaiman pindah ke simpang Sungai
Subah dan mendirikan negeri di Kota Bandir (Fahmi [ed.], 2003:6). Tiga
tahun berselang, Raden Sulaiman pindah ke simpang Sungai Teberau di Lubuk
Madung, dan kemudian pindah lagi ke muara tiga sungai (Sungai Subah, Sungai
Teberau, dan Sungai Sambas Kecil), di Muara Ulakan (Fahmi [ed.],
2003:6).
Di
Muara Ulakan, Raden Sulaiman dinobatkan sebagai Sultan Sambas dengan gelar
Sultan Muhammad Syafiuddin I. Sementara dua adik laki-laki Raden Sulaiman,
yaitu Raden Baharudin dan Raden Abdul Wahab, masing-masing diangkat sebagai
Pangeran Bendahara Sri Maharaja dan Pangeran Tumenggung Jaya Kesuma (Fahmi [ed.],
2003:6). Dengan demikian, Kesultanan Sambas resmi berdiri di Muara Ulakan,
berdampingan dengan Kerajaan Sambas Tua di Kota Lama. Di Muara Ulakan inilah
Raden Sulaiman membangun Istana Alwazikhoebillah.
*Untuk lebih lengkapnya baca disini